SABANGINFO.COM, Pada masa sekarang ini di Aceh ada adat tunangan jika batal maka akan ada denda. Jika pria yang membatalkan pertunangan maka mahar dan semua yang diberikan ketika acara tunangan semua menjadi milik wanita. Sedangkan jika wanita yang membatalkan maka harus membayar dua kali lipat dari mahar yang diberikan masa pertunangan.
Banyak yang bertanya pada penulis asal usul adat ini. Ada yang menanyakan apakah ada masa kesultanan Aceh Darussalam. Maka untuk menjawab hal ini saya membuka buku sejarah Aceh zaman dulu.
Dalam Buku HM Zainudin Tarich Aceh dan Nusantara ada cerita tentang pertunangan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675 M) dan Sultan Johor yang bernama Sultan Abdul Jalil Riayat Syah III.
Dalam suatu Riwayat tersebut, setelah mangkat Sultan Iskandar Tsani, permaisurinya Seri Alam diangkat menjadi Sulthanah (Ratu) yang bergelar Tajul Alam Sulltanah Safiatuddin Syah. Orang Belanda berusaha supaya kekuasaan aceh lumpuh dan diharapnya aceh jatuh dalam pengaruh kerajaan johor.
Oleh sebab itu disuruhnya sultan johor meminang Ratu
Safiatuddin yang mana orang belanda serta orang besar dari johor yang disertai
oleh seorang nyonya belanda datang ke aceh untuk menghantar tanda perkawinan.
Ratu serta beberapa orang besar telah terlebih dahulu
menyetujui pertunangan itu. Akan tetapi keempat kaum itu sepakat menolak
perkawinan raja Johor dengan Ratu Aceh. Karena mereka menaruh dendam dan sadar
atas kesalahan dan pelanggaran janji Raja Johor dengan raja aceh yang telah lalu
sejak sultan mansyur syah dan sultan Iskandar Muda.
Karena Penolakan itu, utusan dari johor pulang dengan tangan
hampa dan karena ini malulah raja Johor maka untuk penutup malu raja johor
dituntutnya negeri “ Aru”diberikan
kepada kerajaaan Johor dan negeri ini dengan sepakat dibiarkan diserahkan dulu buat
sementara kepada johor sebagai penebus malu.
Berhubung dengan Riwayat diatas ini, terjatahlah bahwa kaum
itu senantiasa atau telah membentuk dasar yang kuat dari bangsa aceh dan suatu
penyelesaiannya tidak mudah . jika mereka itu tidak didengar atau bekerja sama
sampai tercapai suatu keputusannya.
Ketika Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) wafat Maka Sultan Johor melamar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin untuk menjadi istrinya. Akhirnya Utusan Sultan Johor didampingi pembesar dan serta seorang nyonya Belanda datang melamar. Pihak Kesultanan Aceh menyetujui pertunangan ini dan menerima lamaran Raja Johor. Namun 4 Sukee di Aceh menolak tegas lamaran ini sehingga pertunangan terpaksa dibatalkan. Sehingga menimbulkan ketegangan antara kedua kerajaan.
Akhirnya Utusan kerajaan Johor pulang dengan tangan hampa. Untuk menutupi rasa malu Raja Johor maka oleh Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Wilayah Aru diserahkan sementara kepada Johor sehingga tidak menimbulkan perang Aceh dan Johor. Sejak itu di Aceh Teradat jika wanita membatalkan pertunangan membayar dua kali kepada pihak pria.
Langkah denda ini untuk menutupi malu pihak pria dan keluarganya. Jika pria yang membatalkan maka pemberian kepada wanita hangus jadi milik wanita juga untuk menutupi rasa malu pihak wanita dan keluarganya. Namun belakangan ini adat sudah bergeser bahkan sudah dari awal mula ada perjanjian bahwa jika gagal pertunangan maka mahar yang berikan hangus jika dibatalkan pria atau berganda jika dibatalkan Wanita maka itu sudah bertentangan dengan adat istiadat Aceh. Sehingga menimbulkan pertanyaan dari masyarakat Aceh tentang semakin hilangnya nilai kesakralan pertunangan.
Pada era kesultanan pertunangan adalah sesuatu yang sangat sakral dan dihormati. Bahkan membatalkan pertunangan bisa berakibat perang terbuka dan permusuhan turun temurun antar keluarga. Menanti musuh dan kematian dalam perang diumpamakan bagaikan pria yang menanti kedatangan tunangan. Dalam hikayat Pocut Muhammad tertulis :
" Meung ka hase sileuen kaphan
Baranggajan tameukeureuja
Miseue geutanyoe dara baro
Tapreh linto Raja Muda
Baranggajan cit tunangan
Nyoekeu lawan sabe raja "
(Kalau sudah cukup alat senjata
Kapan saja bisa bekerja
Umpama kita dara Baro
Menunggu linto raja muda
Kapan saja datang tunangan
Inilah lawan perang sesama raja).
Dalam era kesultanan pertunangan adalah sesuatu yang sangat sakral sekali membatalkan pertunangan artinya perang dan permusuhan antar keluarga. Namun pada saat ini di Aceh pertunangan sudah sedikit sedikit kehilangan kesakralannya dan hilang adat istiadat malah kadang ada yang melanggar syariat. Maka perlu dukungan semua pihak baik ulama dan segala pertuha adat untuk terus menjaga adat istiadat Aceh agar tetap kembali kepada jalur yang benar.[]
Post a Comment