Oleh: Muammar, S.Pd.,M.Pd | Penulis adalah Dosen STIS AL - Aziziyah Sabang dan Pemerhati Sejarah dan Kerajaan Aceh
SABANGINFO.COM, Hikayat Aceh adalah termasuk yang sangat mendetil membahas tentang lamaran dan pernikahan. Pada zaman kesultanan, pertunangan artinya adalah lamaran.
Salah satu yg tercatat dalam hikayat, adalah kisah lamaran Sultan Mansur Bin Sultan Abdul Jalil dengan Putri Raja Indra Bangsa Binti Sultan Sayyidil Mukammil.
Dalam hikayat Aceh, Sultan Abdul Jalil Bin Sultan Alaiddin Al Kahar bin Sultan Ali Mughayat Syah Bin Sultan Syamsu Syah Bin Sultan Munawar Syah Meukuta Alam, mengirimkan Telangkai (Seulangke) kepada Sultan Sayyidil Mukammil Bin Sultan Firman Syah Bin Sultan Muzaffar Syah Bin Sultan Inayat Syah, dengan maksud melamar Putri Indra Bangsa untuk anaknya yaitu Sultan Mansur Syah.
Sultan Sayyidil Mukammil menyambut baik kedatangan utusan itu. Utusan Sultan Abdul Jalil menyampaikan, bahwa hanya Putri Raja Indra Bangsa yang setara Sultan Mansur Syah. Karena Putri Indra Bangsa adalah Keturunan Darul Kamal, sehingga setimbal atau sepadan dengan Sultan Mansur Syah yang merupakan keturunan Sultan Meukuta Alam.
Setelah lamaran diterima, maka oleh Sultan Abdul Jalil dikirimkanlah Raja Permaisuri beserta Seri Dewi, Seri Pebawa dan Seri Nana yang membawa sirih (Intat Ranub) berkampil emas dan suasa kepada Sultan Syah Alam Sayyidil Mukammil.
Puan dan Perhiasan pun dibawa diatas gajah yang penuh dengan perhiasan yang amat mewah.
Setelah utusan sampai ke Syah Alam maka oleh Sultan dipermulia duduk atas permadani. Kemudian Raja Permaisuri dan Seri Dewi membawa puan emas dan suasa yang berisi sirih kepada Syah Alam, yang diambil oleh Syah Alam dan langsung dimakan .
Kemudian sirih lainnya yang dibawa pengiring, diserahkan kepada segala pembesar dan inangda, serta kakanda yang hadir. Lalu oleh Syah Alam utusan Sultan Abdul Jalil dijamu dengan meriah ala jamuan kesultanan.
Kemudian Syah Alam pun menyuruh mengantar sirih berperhiasan yang disambut sukacita oleh utusan Sultan Abdul Jalil. Ketika utusan kembali Sultan Abdul Jalil menerima dengan amat senang dan bahagia.
Setelah ditentukan waktunya pernikahan, maka dilakukanlah penjagaan dan akhirnya menikahlah Sultan Mansur Syah dengan Putri Raja Indra Bangsa, dan lahirlah Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam (1607-1636 M). Hikayat Aceh cukup mendetil membahas adat lamaran dan pernikahan Sultan Mansur dan Putri Raja Indra Bangsa.
Dalam Bustanussalatin karangan Syeikh Nuruddin Ar Raniri juga dibahas pernikahan Sultan Iskandar Tsani dan Seri Alam Permaisuri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.
Setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang, maka Sultan Iskandar Muda membawa Iskandar Tsani ke Aceh. Setelah melihat Iskandar Tsani, dengan firasatnya bahwa Iskandar Tsani akan jadi orang besar, maka Sultan hendak menikahkan dengan anaknya Sultanah Safiatuddin.
Sultan Iskandar Muda memanggil Syeikh Syamsuddin As Sumatrani dan Qadhi Malikul Adil, Perdana Menteri Wazirul A'zam Orang Kaya Maharaja Seri Maharaja, Orang Kaya Raja Lela Wangsa dan Orang Kaya Raja Laksamana serta para pembesar Kesultanan Aceh. Maka Sultan Iskandar Tsani dinikahkan dengan Sultanah Safiatuddin oleh Qadhi Malikul Adil.
Dalam pernikahan ini Sultan Iskandar Muda menghiasi segala istana dan maligai, seperti maligai yang bernama Merchu Alam, Maligai Daulat Khana, Maligai Cita Keinderaan dan Seri Warna Maligai dengan segala perhiasan yang indah-indah dan kain tirai bersulam emas, ratna mutu manikam, emas berpermata, dan lain-lain.
Setelah itu kedua pengantin yaitu Dara Baroe dan Lintoe Baroe dihias elok rupa dengan busana kebesaran kemegahan para raja-raja, lalu keluar dari Istana Darud Donya mengelilingi kawasan Masjid Raya Baiturrahman dengan rombongan besar kerajaan.
Sultan menitahkan untuk mengumpulkan rakyat yang amat banyak. Rombongan yang keluar istana terdiri dari banyak sekali gajah yang berhiaskan emas dan permata, beserta kuda Turki Rumi, Iraki dan Arabi yang berpelana emas dan permata, juga kuda yang bertatahkan emas dan mutu manikam.
Maka Sultan Iskandar Muda memerintahkan agar rombongan mengelilingi Mesjid Raya Baiturrahman. Rombongan gajah juga membawa kampil (pundi-pundi ) berisi sedekah untuk rakyat berupa emas dan suasa, juga beras kuning terbuat dari emas, suasa, permata dan perak, yakut, zamrud, serta mutiara yang diberikan kepada segala rakyat.
Pada era Kesultanan Aceh Darussalam, lamaran dan pernikahan di Istana dilaksanakan dengan sangat meriah, lengkap dengan perhiasan dan kemewahan.
Bahkan Hikayat Aceh dan Bustanussalatin cukup panjang membahas adat pernikahan era Kesultanan Aceh Darussalam. Dimana dalam setiap perhelatan akbar kesultanan, rakyat pun ikut berbahagia karena juga mendapatkan sangat banyak sedekah emas, suasa, perak dan permata, di era kemakmuran Kerajaan Aceh.
Dalam Buku HM Zainudin Tarich Aceh dan Nusantara terdapat pula kisah tentang pertunangan, yaitu lamaran Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675 M) dengan Sultan Johor yang bernama Sultan Abdul Jalil Riayat Syah III.
Dalam riwayat tersebut, dikisahkan bahwa setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani, permaisurinya Seri Alam diangkat menjadi Sulthanah (Ratu) yang bergelar Tajul Alam Sultanah Safiatuddin Syah.
Belanda yang saat itu memusuhi Aceh berusaha agar kekuasaan Aceh lumpuh, dan diharapnya Aceh jatuh dalam pengaruh Kerajaan Johor.
Oleh sebab itu Belanda menyuruh Sultan Johor untuk meminang Ratu Safiatuddin, yang mana orang Belanda serta orang besar dari Johor, yang disertai oleh seorang nyonya Belanda, datang ke aceh untuk menghantar tanda perkawinan.
Ratu serta beberapa orang besar kesultanan telah terlebih dahulu menyetujui pertunangan itu. Akan tetapi di lain lihak, keempat kaum sepakat menolak perkawinan raja Johor dengan Ratu Aceh. Karena mereka sadar atas kesalahan dan pelanggaran janji para Raja Johor dengan Raja Aceh yang telah lalu, sejak Sultan Mansyur Syah dan Sultan Iskandar Muda.
Karena penolakan itu, utusan dari Johor pulang dengan tangan hampa, dan karena ini malulah Raja Johor.
Maka untuk penutup malu Raja Johor, dituntutnya negeri “ Aru” diberikan kepada Kerajaaan Johor, dan negeri ini dengan sepakat dibiarkan diserahkan dulu buat sementara kepada Johor sebagai penebus malu.
Pada masa kesultanan, pertunangan artinya lamaran. Pihak lelaki datang melamar kepada pihak perempuan. Setelah lamaran diterima, yang berarti resmi bertunangan, maka kedua pihak yaitu Linto Baroe dan Dara Baroe segera menyiapkan waktu acara pernikahan dan segala keperluannya.
Dalam Hikayat Aceh sistem adat bertunangan sangat dihormati. Menanti musuh dan kematian dalam perang adalah suatu keniscayaan yang dinanti, sehingga diumpamakan bagaikan wanita atau Dara Baro yang menanti kedatangan tunangan.
Dalam hikayat Pocut Muhammad tertulis :
Meung ka hase sileuen kaphan
Baranggajan tameukeureuja
Miseue geutanyoe dara baro
Tapreh linto Raja Muda
Baranggajan cit tunangan
Nyoekeu lawan sabe raja
(Kalau sudah cukup alat senjata
Kapan saja bisa bekerja
Umpama seorang Dara Baro
Yang menunggu linto Raja Muda
Kapan saja siap bertunangan
Inilah lawan perang sesama raja).
Namun di zaman sekarang makna pertunangan sudah bergeser jauh dari adat Aceh, pertunangan kini dilakukan bahkan tanpa tahu pasti kapan waktunya menikah, yang bisa memakan waktu sampai bertahun-tahun, bahkan kini sudah ada sistem denda yang diterapkan apabila terjadi pembatalan pertunangan.
Yaitu bahwa jika yang membatalkan pihak pria, maka semua pemberiannya hangus. Sedangkan jika yang membatalkan pihak wanita, maka pemberian pihak pria harus dibayar dua kali lipat dan berganda.
Malahan sudah ada perjanjian awal tentang denda ketika acara pertunangan. Sehingga pihak pria dan wanita bersiap membayar denda bila membatalkan pertunangan, yang terkadang sebenarnya juga tidak tahu kapan acara menikahnya. Hal itu bertentangan dengan adat Istiadat Aceh, dan dilarang.
Hal semacam itu tidak ada dalam sejarah dan adat Aceh, karena adat budaya Aceh adalah mengadaptasi ajaran agama Islam. Aceh adalah Islam, dan segala adat istiadat Aceh harus sesuai dengan Islam.
Dalam adat Aceh, pertunangan adalah lamaran. Sehingga pertunangan adalah sakral, karena lamaran adalah niat tulus untuk langsung melaksanakan pernikahan, sehingga tidak boleh ada denda mendenda.
Pada saat ini di Aceh makna pertunangan sudah bergeser, kehilangan kesakralannya dan hilang adat istiadat, malah cenderung melanggar syariat.
Maka perlu dukungan semua pihak baik ulama dan segala pertuha adat untuk meluruskannya, sehingga terus terjaga adat istiadat Aceh, agar tetap kembali kepada jalur yang benar.
Mungkin juga sudah perlu diterbitkan fatwa resmi dari MPU Aceh tentang hal pertunangan ini, sebelum kebiasaan ini menguratakar menjadi suatu kesalahan yang menetap.
Seperti Amanah Sultan Iskandar Muda: "Matee Aneuk meupat jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita". Hilangnya adat istiadat berarti musnahnya kebesaran suatu bangsa.[]
Post a Comment