Oleh: Muallim Hasibuan, S.HI.,M.H. | Penulis adalah Dosen STIS AL - Aziziyah Sabang
Di antara perlindungan yang baik dari Islam dan penghormatannya terhadap perempuan adalah bahwa Islam memberinya hak kepemilikan. Sebab, pada masa jahiliyah, perempuan menjadi pihak yang tertindas haknya dan teraniaya dalam pergaulannya. Bahkan, walinya bisa menggunakan harta yang murni sebagai miliknya tanpa menyisakan baginya satu kesempatan pun untuk memilikinya dan tidak memungkinkan baginya untuk memanfaatkan harta yang menjadi miliknya sendiri. Dengan pemberlakuan aturan seperti ini, Islam hendak menjauhkan sisa-sisa sistem jahiliyah mengenai urusan wanita dan mas kawinnya, hak-haknya terhadap dirinya dan harta bendanya, kehormatan dan kedudukannya.
Islam telah melepaskan belenggu ini dari perempuan, menetapkan mahar sebagai haknya dan menjadikannya sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh laki-laki kepadanya. Ayahnya dan orang yang paling dekat dengannya tidak boleh mengambil sedikit pun darinya kecuali jika ridha dan atas keinginannya sendiri. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 4, disebutkan,
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Menurut Kalbi dan lain-lain, perkataan ini dihadapkan kepada wali yang menikahkan perempuan yang berada dalam kekuasaannya. Menurut Abu Shalih, laki-laki jika telah mengawinkan perempuan yang berada dalam kekuasaannya, mengambil semua mahar perempuan itu dan tidak diserahkannya sedikitpun kepada perempuan tadi. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai larangan atas perbuatan seperti ini.
Adapun yang lebih utama ialah, perkataan ini dihadapkan kepada laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan supaya dia memberikan kepada perempuan yang dikawininya itu maharnya dengan jumlah yang ditentukan. Telah meriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibn Abbas, “nihlah” itu berarti pemberian yang terbit dari hati yang tulus ikhlas, dengan tidak ada maksud pergantian apa pun.
Dalam ayat ini terdapat perkataan “minhu” artinya sebagiannya, maka perempuan tidak boleh menyerahkan atau menghibahkan semua maharnya itu kepada suaminya, melainkan hendaknya sebagian saja. Demikian juga, suaminya itu tidak boleh mengambil semuanya, walaupun istrinya mau memberikan semua maharnya.
Islam memperbolehkan mahar untuk menghormati dan memuliakan istri, namun bukan berarti mesti dilakukan dengan berlebihan. Islam menekankan kemudahan mahar, sehingga cukup dalam bentuk sang suami mengajar sang istri sebuah surah dari Al-quran, atau sebuah hadiah sederhana atau bahkan memberinya sebuah cincin sederhana dari besi. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya perempuan ialah yang paling murah maharnya”. Kemudahan dalam segala hal menghindarkan stress pada seseorang baik secara fisik maupun mental.
Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya untuk dimiliki si wanita sebagai suatu kewajiban dari laki-laki kepadanya yang tidak boleh ditentang. Islam mewajibkan si suami memberikan maskawin sebagai “nihlah” pemberian khusus kepada si wanita dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada sebagaimana halnya memberikan hadiah dan pemberian. Adalah budaya kaum Muslim sebelum datangnya masa materialism barat, bahwa mahar bernilai murah dan sederhana, karena itulah para Imam Maksum menekankan bahwa mahar sebagai sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedudukan Mahar Dalam Pelaksanaan Perkawinan
Rukun dan syarat perkawinan harus dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam kitab al fiqh ala al Madzahib al arba’ah, nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya. Hukum nikah fasid dan bathil adalah sama, yaitu tidak sah. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan rukun nikah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14, antara lain, calon suami, calon istri, wali nikah, 2 orang saksi dan ijab dan kabul.
Syarat syarat pernikahan merupakan ketentuan yang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan dinyatakan sah dan diakui secara hukum sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku. Dengan kata lain pernikahan dinyatakan sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Apabila akad telah sempurna dilaksanakan, tiap-tiap mempelai dan orang yang lain tidak berhak membatalkan atau melakukan fasakh terhadap pernikahan tersebut. Pernikahan hanya akan berakhir dengan talak atau meninggalnya salah satu dari keduanya. Itulah dasar dan tujuan disyariatkannya pernikahan, yaitu adanya kelanggengan hubungan suami istri dan terdidiknya keturunan mereka. Kedua hal ini tidak bisa terlaksana kecuali setelah akad yang diucapkan memiliki ketetapan hukum.
Adapun jika dalam pernikahan dia mensyaratkan tidak ada mahar, maka pernikahannya gugur, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah SWT, maka syarat itu gugur”. Syarat ini tidak terdapat dalam kitab Allah SWT, maka syarat ini pun gugur, bahkan dalam kitab Allah SWT terdapat penggugurannya. Firman Allah dalam surah An-Nisaa ayat 4,
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.
Jadi, syarat itu gugur dan pernikahan yang dilakukan tidak dapat dinyatakan sah kecuali berdasarkan pembenaran terhadap apa yang tidak sah, yaitu pernikahan yang tidak memiliki keabsahan. Penganut mazhab Hanafi lebih mendukung pendapat yang membolehkannya, sebab mahar bukan termasuk rukun tidak pula syarat dalam akad nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 34 disebutkan, bahwa mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan, kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Salah satu faktor penyebab banyaknya perawan tua dan keengganan kaum muda untuk menikah adalah sikap sebagian orang tua yang terlalu mempersulit dan tingginya mahar. Halangan ini pantas menempati urutan teratas dalam daftar halangan-halangan yang menjadi dinding pemisah bagi pemuda muslim untuk menikah. Halangan ini memaksa mereka harus mundur setiap kali ada yang berpikir mengajukan langkah pertama untuk menikah dan membina rumah tangga islami.
Mahar Kontan atau Mengutang
Mahar dalam suatu perkawinan tidak dibatasi banyak atau sedikitnya, masing-masing dari pihak perempuan dan laki-laki boleh menentukannya. Adapun mahar atau maskawin yang baik adalah mahar yang tidak terlampau mahal. Suami wajib membayar mahar yang telah ditetapkan waktu ijab qabul. Jika ia bercerai dengan talak sebelum berhubungan suami istri (qablal dukhul), wajib membayar seperdua mahar yang telah ditentukan dan jika telah melakukan hubungan suami istri, maka wajib membayar mahar semuanya. Mahar itu boleh ditunda secara keseluruhan sampai waktu yang tidak terlalu lama dan boleh juga dipercepat, sebagaimana juga mahar boleh diberikan atau ditunda separuhnya tergantung pada kesepakatan diantara kedua belah pihak.
Jika pasangan suami istri menyepakati suatu hal maka pelaksanaannya dilakukan berdasarkan kesepakatan tersebut. Jika seorang suami tidak pernah membuat kesepakatan dengan istrinya mengenai suatu hal yang prinsipil, selain pembatasan jumlah mahar, maka hukum yan berlaku tergantung pada tradisi yang berlaku di tempat mereka berada. Banyak diantara para Ulama yang menganjurkan agar pemberian mahar diberikan sebelum hubungan badan dilakukan. Mereka mendasarkan pendapat itu pada riwayat yang disampaikan Abu Dawud yang menyatakan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah binti Muhammad, dia ingin mencampuri Fatimah, tetapi Rasulullah Saw melarangnya sampai dia memberikan sesuatu kepada Fatimah. Ali menjawab, ya Rasulullah, aku tidak memiliki apa-apa, Rasulullah Saw menjawab, “berikanlah baju besimu kepadanya”. Kemudian Ali memberikan baju besi miliknya kepada Fatimah.
Mahar Pada Masa Rasulullah SAW
Dasar disyariatkannya mahar dalam Al-qur’an surah An-Nisaa ayat 24 disebutkan;
ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ ۗ
Dihalalkan bagi kamu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu mencari (istri) dengan hartamu (mahar) untuk menikahinya, bukan untuk berzina.
Segala sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai harta boleh dijadikan sebagai mahar, baik sedikit maupun banyak. Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Saw memerdekakan shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mas kawinnya. (Muttafaq Alaihi). Hadis ini menunjukkan bahwa memerdekakan itu boleh dijadikan sebagai mahar, dengan ungkapan apapun hal itu terjadi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada Rasulullah Saw ialah 10 auqiyah (ons) perak, sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 dirham. Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya”.
Mahar Musamma dan Mahar Mitsil Dalam Perkawinan
Di nusantara ini, prosesi akad nikah kadang lebih kental dengan nuansa budaya dibanding agama. Kebanyakan orang lebih terikat dengan adat istiadat yang telah membudaya daripada dengan ajaran agama. Tentu saja, adat istiadat yang berkaitan dengan pernikahan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Walaupun demikian, sejak awal Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi pernikahan sehingga semua rangkaian prosesi ini tidak menyulitkan atau membebani kedua mempelai. Sebab, dalam pandangan Islam, seluruh rangkaian prosesi tersebut tak lebih dari simbol belaka, sementara substansinya adalah ikatan dan komitmen mereka berdua.
Mahar adalah pemberian suka rela yang merupakan simbol dari ketulusan, kejujuran, dan komitmennya dalam menikahi seorang perempuan. Al Qur’an sendiri menyebutkan dengan kata shadaqah yang berarti kejujuran dan ketulusan.sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 4;
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Bahwa mahar merupakan komitmen cinta yang diberikan dengan penuh sukarela (nihlah) dan suka cita. Kedua kondisi tersebut mengindikasikan bahwa mahar tidak seharusnya memberatkan seorang pria, apalagi menghalanginya untuk menikahi seorang perempuan. Hukum Islam sendiri tidak memberikan batasan baku tentang besaran jumlah mahar. Akan tetapi, berbagai sabda Rasulullah SAW melalui berbagai hadis menganjurkan mahar itu ringan dan mudah. Pemberian satu maskawin wajib guna membuktikan kesetiaan suami terhadap istrinya dan hal itu tergantung kepada kemampuan suami itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Nabi, “sebaik-baik maskawin adalah yang sangat ringan” (HR. Abu Dawud). []
Post a Comment