Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur |
Menurut para pakar psikologi, kasus bullying di Indonesia sudah memasuki tahap memprihatinkan. Pasalnya, bagi sebagian orang, tindakan tersebut dinggap biasa dan belum dianggap sebagai sesuatu yang urgen untuk diatasi.
Rasulullah Muhammad Shallallahu a’laihi Wasallam bersabda: “Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah (orangtua) kepada anaknya, kecuali adab yang baik.” (HR. At-Tirmidzi).
Ulama sekaligus pakar pendidikan,
Prof. Dr. Abdullah Nashih Ulwan memberikan penjelasan hadits di atas bahwa para
pendidik, terutama ayah dan ibu, mempunyai tanggungjawab besar dalam mendidik
anak-anaknya dengan kebaikan dan dasar-dasar moral.
Mereka bertanggungjawab untuk
mendidik anak sejak kecil untuk berlaku benar, dapat dipercaya, istiqomah, dan
adab terpuji lainnya.
Sementara Syed Muhammad Naquib Alatas
ketika menjelaskan hadits di atas menyatakan, konsep ta’dib dalam pendidikan
menjadi sangat penting diketengahkan, mengingat semakin terlihatnya gejala
keruntuhan akhlak di kalangan umat, bukan dikarenakan mereka tidak menguasai
ilmu pengetahuan, tetapi karena mereka telah kehilangan adab.
Tindak kejahatan, korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan, pembunuhan, dan hal lain justru banyak dilakukan oleh
orang-orang atau individu yang mengenyam pendidikan tinggi.
Proses bertambahnya ilmu pengetahuan
tampaknya tidak berbanding lurus, bahkan kecil pengaruhnya terhadap peningkatan
keimanan dan akhlak para murid dan mahasiswa.
Dalam kaitan ini, Imam Al-Ghazali
merumuskan tujuan pendidikan Islam ke dalam dua segi, yaitu membentuk insan
purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.
Lebih lanjut Al-Ghazali menuturkan,
tujuan pendidikan Islam adalah kesempurnaan manusia dunia akhirat. Manusia
dapat mencapai kesempurnaan melalui ilmu untuk meraih kebahagiaan di dunia dan
sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Hal ini sesuai dengan tujuan
Pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No.23 th. 2003,
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya.
Manusia Indonesia seutuhnya yaitu
insan yang beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi
pekerti luhur, mempunyai pengetahuan serta keterampilan, kesehatan jasmanidan
rohani, kepribadian yang mantap, dan berdikari serta rasa tanggung jawab dalam
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kasus Kekerasan dalam Dunia
Pendidikan
Dalam beberapa bulan terakhir, dunia
pendidikan Indonesia cukup memprihatinkan.
Pasalnya, beberapa kasus kekerasan
dan perundungan terjadi di kalangan pelajar dan santri hingga mengakibatkan
kematian.
Kasus pertama, seorang siswa kelas V
SD di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat mengalami depresi hingga menemui
kematian akibat perundungan.
Ia dipaksa oleh teman-temannya
memperkosa seekor kucing. Kejadian itu direkam dan disebar videonya hingga
viral. Si anak merasa malu dan tertekan hingga jatuh sakit, dan akhirnya
meninggal dunia.
Kasus kedua terjadi di Kabupaten
Merangin, Jambi, dimana seorang siswa kelas VIII SMP meninggal dunia setelah
ditikam dengan senjata tajam oleh sesama rekan satu sekolah. Tragisnya,
peristiwa itu terjadi di lingkungan sekolah dan pihak guru baru mengetahui
setelah peristiwa terjadi.
Kasus ketiga terjadi di sebuah
pesantren di Kabupaten Tangerang, Banten. Seorang santri di sebuah pondok
pesantren meninggal dunia setelah dianiaya oleh sesama rekan santri.
Peristiwanya terjadi di asrama, tanpa
sepengetahuan pengasuh pondok. Pihak pesantren baru menangani kasus tersebut
setelah meninggalnya sang santri.
Lembaga pesantren yang selama ini
dianggap masyarakat sebagai tempat yang “steril” dari unsur kekerasan dalam
dunia pendidikan, kini tercoreng dengan adanya kejadian seperti itu.
Walaupun bukan fenomena yang massif,
namun penulis khawatir, ketiga kasus di atas hanyalah fenomena gunung es yang
tampak kecil di permukaan saja, namun kasus lainnya yang tidak diketahui oleh
para guru, masyarakat dan media massa sangat banyak dan tidak tertangani
maksimal.
Bullying (perundungan) merupakan
masalah universal yang dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan fisik dan
emosional pada anak dan remaja.
Masalah bullying saat ini menjadi
sorotan karena dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan remaja secara
signifikan serta memiliki implikasi jangka panjang terhadap proses adaptasi
saat mereka dewasa nanti.
Menurut para pakar psikologi, kasus
bullying di Indonesia sudah memasuki tahap memprihatinkan. Pasalnya, bagi
sebagian orang, tindakan tersebut dinggap biasa dan belum dianggap sebagai
sesuatu yang urgen untuk diatasi.
Buktinya, di banyak lembaga
pendidikan belum terdapat perangkat sistem penanganan bagi korban, atau
perangkat peraturan dan sanksi yang diberikan bagi orang yang melakukan
tindakan bullying.
Pendidikan karakter
Sejatinya pendidikan itu sendiri
tidak hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga membangun kepribadian agar
berakhlak mulia. Hal itulah yang menjadi tujuan utama proses pendidikan
sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas.
Pendidikan karakter dalam UU itu
diartikan sebagai usaha terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan masyarakat,
bangsa, dan negara.
Diakui atau tidak, krisis yang nyata
dan mengkhawatirkan terjadi pada anak-anak kita saat ini sebagaimana contoh
kasus di atas.
Oleh karena itu, upaya untuk
meneguhkan dan mengembalikan arah pendidikan dan mengatasi krisis moral tiada
lain adalah melalui pendidikan karakter.
Pendidikan karakter (akhlak)
dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak. Maka, diperlukan adanya kerjasama,
minimal lima pihak, yakni guru, orangtua, lingkungan, media massa dan
pemerintah selaku penentu arah kebijakan pendidikan nasional.
Guru adalah sosok orang yang digugu
dan ditiru oleh muridnya dan masyarakat. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar
Dewantara (RM Soewardi Suryaningrat) seorang hafidz Al Quran yang mengenyam
pendidikan pesantren di Kalasan, Prambanan Jawa Tengah di bawah asuhan KH
Sulaiman Zainuddin mengemukakan tiga hal yang harus dimiliki seorang guru.
Tiga hal dimaksud yaitu “Ing ngarsa sung
tuladha, Ing madya mangunkarsa, Tut wuri handayani”.
Ing ngarsa sung tuladha berarti
seorang guru harus menjadi teladan, panutan dan memberi contoh sikap, akhlak
dan perbuatan mulia kepada murid-muridnya. Ing madya mangun karsa artinya
seorang guru harus terus membangkitkan semangat para muridnya untuk terus
belajar.
Sementara itu, Tut wuri handayani
berarti guru harus memberikan dukungan dan dorongan moral kepada muridnya untuk
selalu berkehendak dan berbuat baik untuk dirinya dan masyarakat.
Di sisi lain peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak adalah faktor penting dalam pendidikan.
Sebuah studi menyebutkan, dalam
sebuah keluarga yang normal, anak usia di bawah 18 tahun menghabiskan waktunya
60 sampai 80 persen bersama keluarga.
Artinya, pada usia tersebut mereka
sangat membutuhkan orangtua yang diharapkan dapat memberikan kehangatan kasih
sayang, pendidikan, dan keteladanan dalam keluarga.
Orangtua ikut menentukan input apa
saja yang masuk kepada si anak, baik makanan maupun aneka informasi sehingga
kemudian terbentuk karakter anak yang berkualitas, karena karakter dibentuk
seiring dengan berjalannya usia dan perkembangan seorang anak.
Peran lingkungan masyarakat juga
turut mempengaruhi perkembangan karakter seseorang. Lingkungan yang religius,
berkembangnya sikap toleransi, saling menghargai, dan lain-lain akan memberi
stimulus positif bagi perkembangan karakter seseorang.
Sebaliknya, lingkungan yang jauh dari
nilai-nilai agama, pergaulan bebas, atau ikhtilat (percampuran) antara laki-laki
dan perempuan akan mendorong seseorang berpikir bebas, liberal dan sekuler.
Selanjutnya, media massa juga
memiliki peran signifikan dalam pembentukan karakter generasi bangsa. Fungsi
utama media hendaknya sebagai pemberi informasi, edukasi, dan inspirasi, dan
bukan sekadar hiburan semata.
Media hendaknya memiliki visi dan
berpartisipasi dalam upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk
karakter warga, terutama generasi muda dengan menyebarkan konten-konten yang
berbingkai pengembangan akhlak, moral dan karakter mulia, bukan sekadar hiburan
dan mengejar rating penonton.
Tidak kalah pentingnya, Pemerintah
hendaknya terus mengupgrade regulasi dan kurikulum yang berlandaskan karakter,
bukan sekadar meningkatkan kecerdasan kognitif anak didik.
Hal ini dapat terwujud apabila teori
Taksonomi Benjamin S Bloom yang menyeimbangkan ranah kognitif (intelegensi),
afektif (perasaan) dan psikomotorik (keterampilan) benar-benar direalisasikan.
Dengan adanya kerjasama dan sistem
yang baik antara guru dan sekolah, orangtua dan keluarga serta lingkungan
masyarakat, plus media massa dan pemerintah, maka upaya menjadikan generasi
unggul yang memiliki karakter sebagaimana dimaksud dalam tujuan Pendidikan
Nasional akan dapat diwujudkan. []
Post a Comment