oleh Fathayatul Husna | Penulis adalah Dosen Universitas Teuku Umar dan sekaligus sebagai pegiat media sosial
Belakangan ini perempuan menjadi salah satu topik yang sedang
hangat diperbincangkan di setiap lini. Pasalnya, perempuan selalu menjadi
perhatian dalam segala aktivitasnya. Bahkan, perempuan kerap diberikan labelling
sebagai kaum lemah dan tidak pantas untuk bergerak di ruang publik. Perempuan
dianggap terlahir dengan kodrat hanya mengurus pekerjaan domestik, seperti
rumah, kasur, anak dan dapur. Hal ini menjadi perhatian bagi seluruh perempuan
di penjuru dunia sedari dulu dan tentunya sudah melahirkan banyak upaya untuk
membangun gerakan-gerakan peduli perempuan.
Di sisi lain, perempuan sebagai makhluk perasa memiliki sudut
pandang yang berbeda. Perempuan emiliki kemampuan secara psikologis untuk mudah
menerima perebedaan, salah satunya dalam konsep perbedaan agama. dalam hal ini,
perempuan memiliki kemampuan yang sangat mudah untuk melakukan toleransi dengan
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda. Asheley Muntago menyebutkan bahwa perempuan
sangat berperan penting untuk meredamkan suasana. Menurutnya, perempuan
bersikap tidak egois, tidak mementingkan diri sendiri, penyabar, rela berkorban
dan keibuan. Perempuan juga dinilai mudah untuk beradaptasi dan menyesuaikan
diri serta mudah untuk bekerja sama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan terkait potret perempuan Aceh dan
perannya dalam membangun umat di lingkungan syariat Islam
Kritina Grossman menyebutkan, setidaknya perkembangan mobilitas dan
kehidupan perempuan di Aceh dapat dilihat dari tiga masa, yaitu pada masa pemberlakuan
syariat Islam pada tahun 1999, pasca Tsunami tahun 2004, dan masa perdamaian
Aceh tahun 2005. Masa konflik di Aceh
telah memberikan dampak mendalam bagi setiap penduduknya, khususnya bagi
perempuan di Aceh. Pada masa konflik setidaknya perempuan Aceh telah mengalami
penindasan dari kalangan militer dan GAM. Pada masa itu, perempuan diberikan
kebebasan untuk menguatkan identitas mereka sebagai perempuan bersyariat Islam.
Bahkan, perempuan diminta untuk menjaga kehormatannya sebaik mungkin. Tetapi,
kenyataannya perempuan mengalami kekerasan secara fisik, biologis dan mental.
Pada masa itu, perempuan kerap mengalami kekerasan. Tidak sedikit perempuan
mengalami pemerkosaan oleh pihak aparat militer. Kehidupan ini menyisakan
kenangan mendalam bagi perempuan yang hidup di masa konflik Aceh.
Masa konflik telah mengubah kehidupan perempuan. Tidak sedikit dari
kalangan perempuan yang hidup sebagai janda. Mereka terpaksa menjadi tulang
punggung keluarga dan menghidupi kebutuhan keluarga. Kebanyakan kepala keluarga
(suami) meninggal dunia saat ikut terjun dalam konflik. Peristiwa ini
menjadikan setiap perempuan yang hidup di masa konflik perlahan mulai menata
diri untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka mulai bergerak memberikan
pendidikan kepada perempuan lainnya akan kembali bangkit dan terberdaya. Mereka
kerap melakukan pendampingan kepada sesama perempuan agar perempuan di Aceh
tidak lagi merasa tertindas.
Proses pendampingan yang dilakukan para perempuan saat itu
ditujukan untuk membangkitkan semangat perempuan. Selain itu, juga bertujuan
memulihkan penderitaan perempuan. Secara bergilir, mereka melaksanakan kegiatan
pendampingan di rumah-rumah kediaman mereka dan pergerakan ini dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.
Setelah lama bergerak dan memberdayakan perempuan secara
sembunyi-sembunyi, pada tahun 2000 untuk pertama kalinya perempuan Aceh didukung
oleh para aktivis perempuan menyuarakan damai di Aceh. Aksi ini banyak menarik
simpati dari kalangan perempuan, bahkan kuantitas perempuan lebih banyak
daripada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh tidak hanya
berdiam diri saat konflik terjadi. Bentuk partisipasi ini juga dapat dilihat
bahwa perempuan Aceh juga dapat bergerak secara aktif di ruang publik untuk
turut memberikan kontribusi.
Di samping itu, sebelum
runtuhnya rezim Orde Baru, banyak ditemukan berdirinya organisasi perempuan di
Aceh. Misalnya, tahun 1980an Yayasan Flower Aceh berdiri dengan tujuan untuk
mengajak perempuan Aceh semakin terberdaya dan ikut mengembangkan potensi diri.
Masa konflik Aceh dan Indonesia telah menyisakan kenangan terpuruk
bagi setiap kalangan di Aceh, terutama kaum perempuan. Masa konflik memberikan
perlakuan kekerasan pada perempuan di setiap bidang. Sehingga, menjadi sebuah
kewajaran ketika perempuan di Aceh turut ikut menyuarakan perdamaian di Aceh.
Setelah masa otonomi khusus diberlakukan di Aceh, diharapkan
perubahan kebaikan akan terjadi pada perempuan Aceh. Sri Lestari Wahyuningroem
menjelasakan bahwa terdapat tiga alasan penting terkait harapan terberdayanya
perempuan Aceh pasca otonomi khusus, yaitu, pentingnya memproduksi dan mencetak
generasi, mayoritas penduduk Aceh adalah perempan dan banyak perempuan Aceh
tercatat sebagai pejuang sumber.
Setelah pemberlakuan otonomi khusus, penulis melihat bahwa
pergerakan perempuan di ruang publik semakin berkembang setiap saatnya.
Keterlibatan perempuan di ruang publik dapat dilihat dari keaktifan mereka di
berbagai bidang, seperti ikut bergerak di bidang politik, di bidang birokrasi
pemerintah, melanjutkan jenjang pendidikan hingga tingkat doktor. Penulis
berargumen, perkembangan ini akan memberikan dampak positif bagi kalangan
perempuan, khususnya di Aceh.
Tidak hanya itu, keaktifan perempuan Aceh pasca pemberlakuan
otonomi khusus juga terlihat dari hadirnya teungku inong (ulama
perempuan Islam) di Aceh Eka Srimulyani menjelaskan kedudukan teungku inong di
ruang publik telah membangun otoritasnya sebagai bagian dari pemuka agama. Kegiatan
yang dilakukan juga adanya keterlibatan dengan beberapa pihak, seperti Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan Majelis Ulama
Nanggroe Aceh (MUNA). Tetapi, kehadiran teungku inong ini di Aceh juga
masih berada dalam keterbatasan, seperti hanya boleh terlihat dan bergerak pada
kalangan perempuan saja. Meskipun tetap dalam keterbatasan, mereka tetap
semangat dalam menyampaikan ajaran Islam secara luas.
Setelah pemberlakuan otonomi khusus di Aceh, perempuan terlihat
semakin berkembang dan bebas mengemukakan pendapat di ruang publik. Kristina
Grossman menjelaskan bahwa kehidupan perempuan di Aceh terjadi dapat dilihat
melalui tiga fase, yaitu masa pengenalan syariat Islam pada tahun 1999, pasca
Tsunami tahun 2004, dan masa perdamaian Aceh tahun 2005. Fase konflik dikenal
sebagai fase kehidupan yang mencengkam kehidupan perempuan. Perempuan menerima
perlakuan kasar dan tidak wajar. Bahkan, perempuan kerap dijadikan sebagai
korban kekerasan. Pada tahun 1999 sebagai fase peralihan. Fase ini perempuan
mulai turun melakukan perlawanan dan berupaya menyuarakan pendapat di ruang
publik. Hal ini dilakukan oleh aktivis perempuan di Aceh. Selanjutnya, pada tahun
2005 pasca tsunami, perempuan di Aceh semakin bebas bergerak bersuara di ruang
publik. Hal ini dikarenakan akibat banyaknya pihak-pihak yang ikut membantu
memulihkan keadaan perempuan di Aceh, terutama pemulihan pada mental dan pola
pikir mereka. Misalnya, Gender Working Group (GWG) berupaya mengkoordinakan
perempuan Aceh ikut memberikan perhatian pada diri sendiri dan pihak sekitarnya.
Melihat perkembangan dan perjuangan perempuan Aceh dari masa ke
masa dapat ditarik benang merah bahwa perempuan Aceh tergolong sebagai
perempuan kuat dan tangguh. Secara psikologi, perempuan Aceh dapat memikirkan
posisi dirinya sebagai dirinya yang lain. Hal mendasar ini yang menjadi
landasan bahwa perempuan tidak hanya mampu melakukan banyak hal, tetapi juga
mampu beradaptasi dengan cepat, baik dalam tekanan yang sedang dialami ataupun
dalam kondisi budaya agama yang berbeda.
* Penulis sangat tertarik dengan media dan isu-isu sosial, salah satunya adalah
isu keberagaman di Aceh. Oleh karena itu, penulis tertarik menulis tulisan ini
setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan
Sosial Keagamaan (LABPSA). Penulis dapat dihubungi melalui kontak
fathayatulhusna@gmail.com.
Post a Comment