Delisa Fitri Rahmadani, Patah Hati yang Kedua



Laporan Uly Rahmaty | Banda Aceh


SABANGINFO, Banda Aceh - Terlihat seorang perempuan berpakaian pastel sedang duduk di hadapan sejumlah mahasiswa, dengan sebuah mic ditangannya dia menceritakan peristiwa tsunami maha dahsyat yang terjadi 17 tahun silam. 


Dia adalah Delisa Fitri Rahmadani, tokoh dibalik film “Hafalan Shalat Delisa” yang kini telah menjadi perempuan berusia 24 tahun dan menjadi sosok inspiratif bagi setiap kalangan. Kisahnya tidak terlupakan bagi segenap masyarakat Aceh. 


Pada 29 Desember 2021, ia menghadiri sebuah acara peringatan 17 tahun tsunami dan menceritakan kisahnya pada peristiwa itu. Ia bercerita terus bercerita, seakan tidak ada lagi luka yang membekas oleh peristiwa itu. Namun tiba saat menceritakan tentang sosok ayahnya, terlihat ia menahan tangis mengenang sosok ayahnya yang juga telah menghadap sang khalik pada 2015 yang lalu. 


Pada 26 Desember 2004 yang lalu, ayahnya mendengar kabar dahsyatnya musibah di Aceh. Dia pun bergegas pulang ke Aceh, namun pada saat itu dia harus pulang ke Aceh melalui jalanan darat Medan-Banda Aceh dengan meminjam mobil kerabatnya yang di Medan. Suasana Banda Aceh yang terlihat sangat sepi menuntun ayahnya langsung menuju Ulee Lheue untuk mencari Delisa.  


“Ayah cari ke Ulee Lheue dan bertemu dengan saudara yang kembali ke Ulee Lheu pada waktu itu, lalu dia bilang kita ke sana mengungsinya, ke Mata Ie. Sampai ayah ke sana, ada orang yang menyampaikan  ‘saya ketemu Pak dengan si Caca,’ Caca itu saya, ‘Caca sudah meninggal, di Lamteumen,” kisahnya. 


Esoknya ayah Delisa meminjam sepeda warga setempat untuk mencari Delisa, dengan membawa air. Tidak sedikit dia menjumpai orang-orang yang masih terjebak reruntuhan dan meminta air kepadanya, kemudian dia segera memanggil tim penyelamatan, hal ini terus berulang. 


Hingga pada hari kelima, dia mulai putus asa, satu pun dari keluarganya tidak ada kabar. Namun pada akhirnya seseorang yang tidak dikenal mengajaknya menuju rumah sakit Kesdam Iskandar Muda, dan di sanalah dia berjumpa dengan Delisa. Mulai saat itulah Delisa dan ayahnya memulai kembali kehidupan, berdua, tanpa seorang Ibu dan saudaranya. 


“Tidak mudah waktu itu bagi ayah, mental saya naik turun. Semua dia yang ajarkan saya, karena waktu itu saya satu tahun dalam perawatan di rumah sakit, saya tinggal kelas, jadi diajarin semua-semuanya hingga cuci baju, cuci piring, dan segalanya,” kenangnya. 


Kemudian pada 2015 Ayah Delisa meninggal karena komplikasi. Kepergian sang ayah membekas kesedihan baru bagi Delisa. 


“Saya mengalami patah hati yang kedua, setelah 2004, 2015 patah hati kedua. Jadi saya sering skip cerita tentang ayah, karena bukan saya tidak mau, tapi berat,” ungkapnya.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post